Zack

Foto saya
be better than yesterday..

Jumat, Mei 20, 2011

"kisah bilal bin rabah"

Namanya adalah Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam,

memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah

kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.
Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam
yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).


Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.

Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.

Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.

Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung,dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik.

tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika
dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.

Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”

Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama
Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”
Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan
mereka semakin hebat dan keras.
Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf,
mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah
orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di
sepanjang Abthah Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya
karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan
agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa
merasa bosan dan lelah.

Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah
bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda.
Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar
setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.

Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau
menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”
Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus
uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”
Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia
telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya,

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu,
biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.”
Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai
Rasulullah.”

Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya
untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu
‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan
‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak
reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih :


Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti
Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah
Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil
Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya;
merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya
iman. Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan
Allah. Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.

Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang
Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk
menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun
beliau pergi.
Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad.
Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan
yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi
di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang
mengumandangkan azan (muazin) dalam sejarah Islam.
Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati
hayya ‘alalfalaahi…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu,
ketika RasulullahShalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal
melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.

Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang
termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak,
sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab,
tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat
itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia
membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan
shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat
melakukan shalat di luar masjid.

Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia
menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya
dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar
Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah
bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan
darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa
dahulu.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau
berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang panggilan
langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga
orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang
dikenal sebagai kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari
kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu,
baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang
agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallammemanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk
mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul
Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan
dengan suaranya yang bersih dan jelas.

Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan
yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman
dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa
kedengkian telah merobek-robek hati mereka.

Saat azan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna
muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”.
Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat
kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak
menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.” Maksudnya,
adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.

Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan
ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan ayahnya
meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota
Mekah..

Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku
tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”
AI-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang sangat besar.
Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”
Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku tidak
mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu
kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.”

Bilal menjadi muazin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hidup.
Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara
yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan
kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”

Sesaat setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan napas
terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan,
sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain
kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna
muhammadan rasuulullaahi(Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”,
tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum
muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara
isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.

Sejak kepergian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup
mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu
anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang
mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.

Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi
RasulullahShalallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan
tidak mengumandangkan azan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu,
Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan
berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.

Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus
mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya
berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka
engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah,
maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.”

Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku
memerdekakanmu juga karena Allah.”
Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk
siapa pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat.”
Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan
Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di
daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar
tidak mau mengumandangkan azan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke
wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah
terpisah cukup lama.

Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu
besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar
ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali (yang artinya), “Abu Bakar
adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).”

Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau
mengumandangkan azan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika suara
Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan azan, Umar tidak
sanggup menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian
diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air
mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa
kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam..Bilal, “pengumandang seruan langit itu”, tetap tinggal di Damaskus
hingga wafat.



Disalin dari Biografi Ahlul Hadits, yang bersumber dari Shuwar min Hayaatis

Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya

Tidak ada komentar: